Senin, 28 Oktober 2019

Published Oktober 28, 2019 by with 0 comment

Desa Wisata Ciasihan Bagian 5: Curug Geblug

Mendengar nama Curug Geblug mungkin masih berasa asing bagi para pecinta curug ataupun traveler dari Bogor dan sekitarnya. Ini dikarenakan belum dibukanya akses resmi ke curug ini dan dalam waktu dekat akan dibuka akses dari Gunung Bunder/Salak Endah. Kalau dari Desa Ciasihan kita akan menempuh trek yang lumayan ekstrim dan cocok buat petualang karena curug ini jauh berada di atasnya Curug Kiara yang sudah lebih dulu dibuka apalagi dari Curug Ciparay dan Curug Seribu. Jadi untuk kesini memerlukan guide yang hafal trek ke Curug Geblug (kecuali kamu pernah ke sini sebelumnya).
Petualangan kali ini saya ditemani oleh Revan, Noey dan Betta. Sebelumnya kami berlima minus Lia pernah menjelajah Pulau Bangka selama 3H2M. Janjian jam 7 pagi yang molor 30 menit di depan Hermina kamipun berangkat menggunakan 2 motor. Karena sudah agak siang jalanan mulai macet, untuk di bonceng sama Valentino “Revan” Rossi jadi bisa selap-selip di antara kemacetan.
Karena sudah sering melewati jalur ke Desa Ciasihan jadi tidak perlu lagi saya jelaskan secara detil silahkan baca di blog di bawah. Di tengah perjalanan saya baru mendapatkan guide untuk jelajah curug ini melalui IG @curugkiara (Kang Rosad).
Sampai di Ciasihan (Kampung Riana), gerbang masuk kawasan ternyata sudah pindah lebih ke depan. Biaya masuk kawasan Rp. 10.000/orang dan motor Rp. 10.000. Dan kami langsung ke rumah orang tuanya Kang Rosad yang ada di depan pamflet wisata Curug Kiara. Setelah parkir, kami bertemu bapak nya kang Rosad dan di sepakati biaya guide Rp. 50.000/orang dan kami dikasih 2 orang guide ( adik-adik nya kang Rosad karena beliau sedang keluar) yaitu Robby dan Asep.
Jam 9.30 kami mulai trekking. Dari parkir kami mengambil jalan lurus hingga sampai di pos lama dekat curug buatan (aliran irigasi) kemudian naik bukit hingga mencapai jalur irigasi. Menyusuri saluran irigasi yang berada dipinggir tebing ini, pertama-tama kami melewat gerbang Curug walet yang baru sekitar sebulan di buka (akan dikunjungi setelah dari Curug Geblug). Tidak jauh dari gerbang Curug Walet kami melewati gerbang Curug Kiara yang sudah 2x saya kunjungi. 
Mulai trekking
Melewati jalan setapak di pinggir gerbang Curug Kiara kemudian kami turun hingga mencapai sungai yang juga aliran Curug Kiara dan Walet. Setelah menyeberang jembatan kayu yang terlihat semakin rapuh kami mengambil jalur kanan (jalur kiri adalah jalur lama ke Curug Batu Ampar, Curug Batu Susun dan Curug Bidadari. Dari sini kami melewati ladang, salah satunya ladang tebu telor yang bunganya untuk dijual sebagai lalapan atau untuk sayur. Sempat mencoba, ternyata rasanya enak dan bisa buat mengganjal perut.
Tebu telor
Trek awal
Trek awal
Trek awal
Trek awal
Melewati ladang, kami mulai memasuki hutan tapi masih terlihat jalan setapak. Jalur nya masih jalur rata dan kita bisa jalan santai. Beriringan, Asep berada di depan dan Robby di belakang sementara kami berempat berada di tengah.
 
Berakhirnya jalur rata ini, kami sampai di sisi bukit. Mulai dari sini jalurnya menurun dengan kemiringan yang lumayan ekstrim. Anggap saja sedang mendaki/menuruni gunung, hanya saja jalur disini nyaris tidak terlihat. Kami harus mencapai sungai yang ada di lembah jauh dibawah sana. Menuruni bukit yang kadang-kadang sisi tebingnya tidak terlihat karena tertutup semak, memerlukan kewaspadaan, kalo perlu harus ngesot hahahahah.
Trek menurun menuju sungai
Trek menurun menuju sungai
Terjatuh
Trek menurun menuju sungai
Nanti bertemu perigaan ‘virtual’ atau pertigaan semu yang gak kelihatan hahahha. Ke kiri mengarah ke Curug Kembar dan kanan ke Curug Geblug. Karena jarang sekali manusia melewati jalur ini, kalau tidak ada guide dijamin nyasar hahahaha. Juga mengikuti jalur ini siap-siap berpegangan pada akar pohon, kayu ataupun perosotan di batu besar sehingga pakaian dijamin kotor. Juga perlu diingat, jalur ini bertanah gembur dan rawan longsor, dan sempat juga sebuah batu besar longsor karena diinjek Robby. Juga kami menemukan beberapa sumber mata air yang bisa untuk minum.
Sumber mata air
Hampir 2 jam trekking akhirnya kami sampai di bawah, di aliran sungai. Seolah-olah mengucapkan selamat datang, di bawah kami di sambut oleh sebuah air terjun, hilang semua capek..... Meski kecil tapi curug ini ada 3 undakan yang berada di sisi bukit dan jatuh ke sungai yang merupakan aliran dari Curug Geblug. Bebatuan di sini berwarna coklat kemerahan yang bearti mengandung sulfur atau alirannya melewati kawah. Tapi airnya tentu saja sangat jernih, bening dan dingin. Kami menamakan curug ini, Curug Ketjeh 1 hehehehe.
Curug Ketjech 1
Curug Ketjech 1
Curug Ketjech 1
Curug Ketjech 1
Sekitar Curug Ketjech 1
Melanjutkan ke Curug Geblug, memakan waktu sekitar 15 menit lagi susur sungai. Namanya susur sungai tentu saja mengikuti alur sungai, melewati bebatuan besar dan arus. Satu kali menyeberangi sungai kemudian menyusuri sisi kiri akhirnya memanjat sisi bukit dan akhirnya sampai di jalur yang yang sedang dibersihkan (jalur ke Gunung Bunder). Dari sini cuman beberapa meter sudah sampai di Curug Geblug. Dan waktu menunjukkan jam 11.30 artinya kami menghabiskan waktu 2 jam untuk sampai ke sini. 
Trek dari Curug Ketjeh 1 ke Curug Geblug
Trek dari Curug Ketjeh 1 ke Curug Geblug
Trek dari Curug Ketjeh 1 ke Curug Geblug
Trek dari Curug Ketjeh 1 ke Curug Geblug
Trek dari Curug Ketjeh 1 ke Curug Geblug
Curug Geblug bersembunyi di balik tebing batu. Tinggi curug sekitar 10-15 meter, mempunyai debit yang besar padahal di musim kemarau. Pastilah debitnya akan sangat besar jika kami datang di musim hujan. Mempunyai leuwi/kolam yang luas yang dikelilingi tebing tegak lurus, tak dapat dipungkiri menjadikan salah satu curug favorit yang jarang dikunjungi. Hanya saja, sayang ada coretan-coretan di bebatuan besar seakan-akan pengunjung sebelumnya ingin menunjukkan eksistensinya di sini.
Curug Geblug
Curug Geblug
Berfoto di Curug Geblug
Berfoto di Curug Geblug
Selain mengambil foto dari depan, kita juga bisa mengambil foto dari sisi tebing sebelah kiri tapi hati-hati jangan sampai selfie nya kebablasan mundur ke belakang. Dari sisi kanan kita akan berada di bawah tetesan-tetesan air yang jatuh dari atas. 
View dari sisi kanan
View dari sisi kanan
 Karena sudah menunjukkan hampir tengah hari kami memasak air untuk kopi dan mie instan. Cukup untuk mengganjal perut. 
Masak mie instant
Di curug ini kami tidak berenang karena berencana berenang di curug selanjutnya, di Curug Kembar atau Curug Walet. Setelah puas mengambil foo, membereskan peralatan masak dan membersihkan sampah sekalian sampah-sampah yang ditinggal oleh pengunjung sebelumnya, kami melanjutkan perjalanan ke Curug Kembar.
Trek pulang sambil bawa sampah
Read More
      edit

Rabu, 23 Oktober 2019

Published Oktober 23, 2019 by with 0 comment

Eksplor Solok Selatan Bagian 4: Kebun Teh Alahan Panjang, Mesjid Tuo Kayu Jao dan Danau Di Ateh (Danau Kembar)

Melanjutkan perjalanan dari Sangir dimana kami menghabiskan waktu berenang di Air Pauh Duo dan mengunjungi Nagari Saribu RumahGadang selanjutnya kami menuju Alahan Panjang untuk menginap di Danau Di Ateh (Danau Di Atas). Karena tergoda dengan promosi wisata di sini yang memperlihatkan penginapan di pinggir danau yang bergaya ala-ala Eropa.

Sampai di Danau Di Ateh sudah sore. Memasuki Kawasan wisata kami harus membayar sekitar Rp. 25.000 per orang (dewasa). Dan sepertinya di dalam Kawasan wisata sedang ada bazaar sehingga terlihat sangat berantakan dan sampah berserakan di mana-mana.

Singkat cerita kami menyewa 2 villa dengan harga Rp. 500.000 dan Rp. 300.000 yang dibayar via petugas yang  bersih-bersih villa (karena menurut beliau pembayarannya lewat mereka, dan saya juga bingung karena memang tidak tahu harus bayar dimanan, LOL). Dan sumpah, inilah penginapan yang tidak terurus, mesti terlihat bagus tapi didalamnya sangat kotor mulai dari karpet, korden, dinding etc. Tidak ada tong sampah baik di dalam dan di luar sehingga sampah dari pengunjung wisata bertebaran di mana-mana. Juga, air kran yang tidak lancar dan air panas yang tidak berfungsi sementara udara di sini sangat dingin. Mudah-mudahan ada pihak berwenang yang baca tulisan ini dan menjadi perhatian buat pengembangan wisata di sini.

Hanya karena ingin menikmati pemandangan Danau Di Ateh sehingga kami bertahan satu malam di sini. Satu lagi, ketika membeli makan malam di sini, harga yang ditetapkan sangat tidak masuk akal, sekitar Rp. 35.000 untuk sepotong ayam dan sedikit sayur, dibandingkan dengan menu yang sama normalnya sekitar Rp. 16.000-Rp. 18.000.

Untuk yang mau berkunjung ke sini masih ada alternative penginapan berupa hotel-hotel dan homestay di kiri kanan jalan.

Pagi-pagi, saya mencoba mengambil aerial view dengan latar Gunung Talang. Dari atas sekilas terlihat pemandangan seperti di Eropa sana, tapi siapa sangka di bawah berantakan hahahaha. Hanya sebentar menikmati keindahan danau, kami memutuskan segera kembali dengan membatalkan agenda naik perahu keliling danau.
Aerial view Danau Diateh
Bukit di seberang danau
Salah satu sudut danau
Selain terkenal dengan Danau Kembar (Danau Di Ateh dan Danau Di Bawah), Alahan Panjang juga terkenal dengan Perkebunan Teh-nya. Banyak lokasi perkebunan teh di kota ini. Karena cuacanya yang dingin, sangat cocok untuk tanaman ini. Di suatu lokasi, dengan latar belakang puncak Gunung Talang yang terlihat bagian kawah dengan asap kawah yang mengepul, kami berhenti sejenak. Terlihat hamparan hijau kebun teh sejauh mata memandang. Berbeda dengan pemandangan di puncak, di sini tidak terlihat warung-warung yang ramai di pinggir jalan.
 
Menjelang siang, kami berhenti lagi di perkebunan teh yang ramai pengunjungnya. Untuk memasuki perkebunan kami dipungut ongkos masuk Rp. 2.000 oleh warga lokal. Perkebunan teh di sini lumayan unik, karna kalau menaiki bukitnya terlihat bukit-bukit kecil seperti bukit Teletubbies.
Kebun Teh Alahan Panjang
Kebun Teh Alahan Panjang
Kebun Teh Alahan Panjang
Kebun Teh Alahan Panjang
Kebun Teh Alahan Panjang
Dengan pemandangan hamparan kebun teh dengan latar belakang pegunungan ditambah udaranya yang sejuk tentulah membuat kita berlama-lama di sini.

Selagi yang lain masih di perkebunan teh, saya dan Revan menuju Mesjid Tuo Kayu Jao (Mesjid Tua) yang berjarang sekitar 3km dari tempat kami istirahat. Dari jalan raya ada 2 alternatif jalan masuk ke lokasi Mesjid Tua ini yang jarak gerbangnya berdekatan. Yang satu bisa dilalui mobil dan satunya hanya motor. Dari jalan raya ke parkiran mesjid berjarak sekitar 300m.

Mesjid ini berada di lembah, beberapa puluh meter menuju mesjid kita melewati turunan yang lumayan tajam hingga akhirnya parkir di area yang sudah disediakan.
Mesjid Tuo Kayu Jao
Mesjid Tuo Kayu Jao
Mesjid Tuo Kayu Jao
Membaca sejarah, mesjid ini didirikan sekitar tahun 1599, seiring dengan perkembangan agama Islam di Solok. Mesjid ini adalah mesjid tertua di kota Solok.

Meski umurnya sudah ratusan tahun, masih terlihat kegagahan mesjid ini. Terbuat dari kayu dan beratapkan ijuk yang berbentuk 3 tingkatan. Mesjid ini berbentuk umumnya mesjid-mesjid yang ada di Sumatera Barat, tidak berkubah.
Terdapat bedug yang terletak terpisah dengan mesjid. Bedug digunakan untuk menandakan masuknya waktu sholat, dan masih digunakan umumnya di desa-desa di seluruh wilayah Indonesia.
Mesjid Tuo Kayu Jao dan Bedug Tua
Bedug tua
Oh iya, Mesjid ini sudah masuk ke dalam bangunan Cagar Budaya yang harus kita jaga kelestariannya ya.... biar bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.

Kembali ke tempat semula, kami melanjutkan perjalanan menuju Padang Panjang via Danau Singkarak. Di Padang Panjang yang juga termasuk salah satu kota terdingin di Sumatera Barat kami menginap semalam. Di sini kami bisa melihat Islamic Centre yang sekarang menjadi ikon baru kota Padang Panjang, sementara tahun lalu ke sini bangunan ini belum selesai. Dari Padang Panjang selanjutnya kami menuju kota Padang.
Salah satu sudut Padang Panjang dengan latar Islamic Centre

Read More
      edit